GLOBALMEDAN.COM, MEDAN– – Dalam rangka pengawasan harga pangan penyumbang inflasi, khususnya tepung terigu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kantor Wilayah (Kanwil) I melakukan survei harga ke berbagai pasar di Kota Medan.
Survei berupa pemantauan harga dilakukan di sejumlah pasar seperti di Pusat Pasar, Pasar Pringgan, Pasar Sei Sikambing, Pasar Sukaramai, MMTC dan sejumlah grosir dan pengecer yang menjual tepung terigu.
“Dari hasil pantauan, diketahui kenaikan harga tepung terigu dimulai sejak lebaran atau di sekitar bulan April 2022,” ungkap Kepala Kanwil I Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ridho Pamungkas, Rabu (3/8/2022).
Menurut Rinaldi Pemilik Toko Harapan yang berada di jalan Kapten Muslim, sudah terjadi kenaikan ± 10 kali sejak lebaran sekitar Rp4.000-Rp6.000/sak.
Di Toko Jadi yang beralamat di jalan Gatot Subroto, harga 1 sak tepung merek segitiga biru ukuran 25 kg di bulan April masih di harga R224.000, saat ini sudah di harga Rp256.800 atau naik 14,64 persen. Begitu juga merek lain yang mengalami kenaikan bervariasi antara 11-15 persen.
Mewaspadai kondisi seperti ini, Ridho mengingatkan agar para pelaku usaha tidak memanfaatkan situasi untuk mengeruk keuntungan berlebih. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan pelaku usaha dalam situasi seperti ini, seperti melakukan kartel untuk menahan harga tinggi meskipun misalnya harga gandum internasional sudah menurun.
Secara struktur pasar, tepung terigu yang dipasarkan di Kota Medan masih didominasi produk dari Bogasari. Produsen lain yang juga masuk ke pasar Medan antara lain dari Bungasari, Wilmar, Carestar, agri First, Pundi Kencana dan sebagainya. Umumnya dijual dalam bentuk sak 25 kg atau per 1 kg.
Ia menilai harga tepung terigu masih mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
“Kenaikan harga ini berdampak pada industri makanan di dalam negeri, khususnya yang menggunakan bahan baku tepung terigu seperti biskuit, roti, dan mie,” ujarnya.
Dampaknya, kata Ridho, juga termasuk pada pelaku usaha UMKM mengingat pengguna tepung terigu terbanyak merupakan pelaku usaha UMKM yang menggunakan total 70 persen terigu nasional.
Menurut Ridho, kenaikan harga tepung terigu tidak lepas dari kenaikan harga gandum internasional yang melonjak karena pengaruh perang Rusia Ukraina dan kenaikan biaya pengangkutan kontainer (freight rate).
Selain perang Rusia Ukraina dimana keduanya adalah negara penghasil gandum, kondisi pemulihan ekonomi pasca pandemi covid memicu banyak negara melakukan pembatasan ekspor beberapa bahan baku pangan yang berujung pada naiknya harga komoditas di dalam negeri.
“Sementara Sebagian besar kebutuhan terigu nasional masih bergantung pada impor,” ujarnya.
Ia menyebutkan, hal lain yang dapat dilanggar oleh penjual misalnya dengan melakukan praktek tying and bundling. Praktik tying adalah upaya yang dilakukan pihak penjual yang mensyaratkan konsumen untuk membeli produk kedua saat mereka membeli produk pertama, atau paling tidak konsumen sepakat untuk tidak membeli produk kedua di tempat lain.
Sedangkan praktik bundling adalah upaya penjualan beragam produk dalam satu paket secara bersama-sama.
“Kita ketahui, ada tiga tipe tepung terigu, yang protein tinggi, sedang dan rendah,” ucapnya.
Diakuinya, sangat mungkin terjadi peralihan konsumen dari yang biasa menggunakan protein tinggi beralih ke protein rendah. Agar yang protein tinggi tetap laku, misalnya distributor mensyaratkan grosir untuk tetap membeli tepung terigu protein tinggi jika mau membeli tepung yang protein rendah.
Temuan sementara KPPU Kanwil I terkait pemantauan tepung terigu belum menemukan adanya praktik tying atau perilaku persaingan usaha tidak sehat yang lain.
KPPU berharap setiap pihak tidak melakukan pelanggaran UU No. 5/1999, khususnya dalam kondisi masyarakat yang masih berhati-hati terhadap ancaman inflasi tinggi. (swisma)