GLOBALMEDAN.COM,MEDAN-Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah I undang sejumlah instansi terkait dan produsen, distributor dan retail mendiskusikan kebijakan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng sawit.
Diskusi digelar pada Kamis (3/2/2022) itu untuk memetakan permasalahan dalam tata niaga dan distribusi minyak goreng, khususnya di wilayah Sumut guna menindaklanjuti implementasi kebijakan Permendag tersebut.
Hadir dalam diskusi di Kantor KPPU Kanwil I Jalan Gatot Subroto Medan, antara lain dari Dinas Perdagangan Pemprov Sumut, Dinas Ketahanan Pangan Pemprov Sumut, Bulog Divre Sumut, PD Pasar Kota Medan, PT Wilmar selaku produsen, PT Alamjaya Wirasentosa selaku distributor dan dari pihak retail diwakili oleh PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk, PT Midi Utama Tbk dan PT Indomarco Prismatama.
Mengawali diskusi, Kepala Kanwil I Medan Ridho Pamungkas mengungkapkan, berdasarkan hasil pantauan yang dilakukan KPPU di hari pertama Pemerintah menetapkan HET per 1 Februari 2022, masih banyak ditemukan ritel modern yang stoknya kosong. Demikian juga harga minyak goreng di warung dan pasar tradisional masih dijual diatas HET.
Untuk itu KPPU mengadakan diskusi untuk mengurai apakah hilangnya minyak goreng dari peredaran ini disebabkan adanya pihak yang menahan pasokan ataukah karena adanya hambatan dalam mekanisme dan teknis pelaksanaan kebijakan dari Permendag tersebut.
Barita Sihite dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumut menyampaikan bahwa jauh sebelum Permendag Nomor 6 Tahun 2022 terbit, Disperindag telah melakukan pasar murah di 11 kab/kota yang bekerjasama dengan produsen utama minyak goreng dengan dana CSR mereka.
Dijelaskannya, Disperindag Provsu sejak 19 Januari 2022 juga tetap melakukan monitoring bersama dengan Disperindag kab/kota.
Dari monitoring tersebut diperoleh informasi bahwa pasokan di pengecer hanya ada dalam 2 hari saja dan selanjutnya pasokan belum tersedia. Selain itu 80% stok yang ada di pasar tradisional masih dengan harga yang lama atau di atas HET.
Terkait kondisi harga dan ketersediaan minyak goreng di Sumut, Disperindag juga telah menyampaikan Surat ke Kemendag RI.
Dari pihak retail, Yemima Panggabean dari PT Midi Utama Tbk menerangkan bahwa sejak Kemendag memberlakukan kebijakan satu harga minyak goreng, pihak Alfamidi sudah mengikuti harga sesuai dengan kebijakan tersebut.
Disebutkannya berdasarkan data yang ada, pada 19 Januari 2022, penjualan minyak goreng di outlet naik hingga 400%. Kondisi untuk saat ini, pihak retail sudah mengajukan PO ke distributor dan produsen, namun stok yang dikirimkan masih terbatas.
Aenada juga disampaikan Alfamart dan Indomaret, sejak Desember 2021 pasokan minyak goreng sudah berkurang sampai dengan 75% dan sampai Januari 2022 terus menurun. Untuk menutupi kekosongan barang, pihak retail mencari produsen dan distributor baru untuk minyak goreng kemasan sederhana.
Hal yang berbeda terjadi di pasar tradisional. Menurut keterangan dari Zulfadli, PD Pasar Kota Medan, pedagang pasar masih menjual minyak goreng stok lama dengan harga beli yang diatas HET.
“Bahkan pengambilan minyak goreng curah dari distributor per hari ini masih di harga Rp.18.000. Artinya, sampai dengan saat ini, pedagang pasar tradisional masih belum mendapat pasokan minyak goreng dari distributor sesuai HET yang ditetapkan oleh pemerintah,” katanya.
Menurutnya, kondisi yang demikian cukup merugikan bagi pedagang pasar, mereka pun tidak berani membeli stok minyak goreng dalam jumlah besar.
Menanggapi hal tersebut, Mulyadi selaku Asisten Sales Manager PT Alamjaya Wirasentosa mengatakan pihak distributor memang mengalami kesulitan dalam penyaluran minyak goreng subsidi ke pasar tradisional dan warung-warung kecil.
Pasalnya proses refaksi atau penggantian harga keekonomian memerlukan bukti administrasi yang akuntabel ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), misalnya faktur pajak dan NPWP yang tidak selalu dimiliki pedagang di pasar tradisional.
Mulyadi mengaku masih ada stok minyak goreng yang belum bisa dijual karena merupakan stok dengan harga lama.
Terkait hal tersebut, pihak distributor meminta kejelasan dan kepastian program refaksi untuk pedagang di semua tingkatan, serta adanya perspektif yang sama dengan aparat penegak hukum terkait tertahannya stok lama sehingga mereka tidak dianggap melakukan penimbunan.
Norman selaku CAGR Manager PT Wilmar menyatakan pihaknya tetap memproduksi minyak goreng seperti biasa meskipun sampai dengan saat ini belum ada refaksi dari BPDPKS.
Pihak produsen masih menunggu kejelasan mengenai refaksi selisih harga keekonomian yang disubsidi oleh pemerintah tersebut.
Terkait dengan implementasi kebijakan DMO dan DPO, Norman menyatakan bahwa produsen minyak goreng cukup mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku CPO dengan harga Rp.9.300 sebagaimana yang ditetapkan pemerintah.
Sementara Arif Mandu dari Bulog Divre Sumut menjelaskan stok minyak goreng di Bulog saat ini juga sudah kosong. Terkait dengan fungsi Bulog sebagai bufferstock, Arif menyatakan siap sepanjang ada penugasan dari pemerintah, karena selama ini penugasan terhadap Bulog lebih terkait pada beras, jagung dan kedele.
Arif menilai persoalan hilangnya minyak goreng dari peredaran lebih disebabkan karena masih belum jelasnya petunjuk teknis dari Permendag terkait dengan refaksi sehingga menyebabkan keraguan pada pelaku usaha di lapangan terkait klaim subsidi.
Menutup diskusi, Ridho mengatakan terkait adanya sinyal kenaikan harga minyak goreng, KPPU telah meningkatkan penelitiannya ke proses penegakan hukum. Hal tersebut untuk mewujudkan kompetisi persaingan usaha yang sehat, baik di tingkat hulu maupun hilir.
Selanjutnya, Ridho menyimpulkan perlunya meningkatkan komunikasi dengan semua stakeholder di daerah dan dengan pemerintah pusat, untuk menciptakan sinergi dan kalaborasi demi mewujudkan harga minyak goreng yang wajar dan tersedia di masyarakat.
“Selain itu, pertemuan ini akan ditindaklanjuti dengan diskusi lanjutan yang akan diadakan oleh Disperindag dengan turut menghadirkan Biro Perekonomian Provsu dan satgas pangan,” pungkasnya. (swisma)