10 Oktober 2024 / 02:53 WIB

Dukung Pertumbuhan Ekonomi, BI Bahas Agenda Prioritas Presidensi G20

GLOBALMEDAN.COM, MEDAN – Bank Indonesia (BI) menggelar seminar yang membahas tentang agenda prioritas Presidensi G20 Indonesia diantaranya Exit Strategy to Support Recovery, dan Adressing Scaring Effect to Secure Future Growth yang merupakan dua dari enam agenda prioritas G20.

Pembahasan itu dilakukan dalam Seminar Strategic Issues in G20: Exit Strategy dan Scarring Effect Post Covid-19 yang digelar secara online maupun offline di Hotel Adi Mulia, Medan, Senin (21/3/22).

Pembahasan kedua agenda tersebut guna merumuskan kebijakan bersama untuk keluar dari krisis atau exit strategy yang tepat dan akan mampu mengatasi dampak berkepanjangan atau scarring effect akibat pandemi Covid-19.

Upaya untuk merumuskan exit strategy yang tepat dirasa perlu guna mendukung pemulihan dan upaya penanganan scarring effect dalam perekonomian untuk mendukung pertumbuhan yang lebih kuat di masa depan.

Seminar itu menghadirkan Leader’s Insight Gubernur BI Perry Warjiyo, Keynote Speech & Welcoming Remarks Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo dan Gubernur Sumatera Utara H Edy Rahmayadi. Tampil juga sejumlah narasumber seminar, yakni Kepala Bank Indonesia Institute Yoga Affandi, Pendiri CORE Indonesia Hendri Saparini Ph.D, Ketua ISEI Medan Prof Dr Ramli SE MS.

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menyampaikan, pemerintah telah mengidentifikasi 3 agenda utama dalam rangka mewujudkan G20 Concrete Collaboration tersebut, yakni: Global Health Architecture, Digital Transformation dan Energy Transition.

Selain itu, Indonesia juga mengusung enam Agenda Prioritas Jalur Keuangan dalam Presidensi G20 Indonesia 2022, dengan fokus dan gambaran output yang akan dihasilkan, antara lain mencakup Exit Strategy to Support Recovery; Adressing Scaring Effect to Secure Future Growth; Payment System in Digital Era; Sustainable Finance; Financial Inclusion; dan International Taxation.

Dody menjelaskan, Exit Strategy to Support Recovery, membahas bagaimana G20 melindungi negara-negara yang masih menuju pemulihan ekonomi (terutama negara berkembang) dari efek limpahan (spillover) exit policy yang diterapkan oleh negara yang lebih dahulu pulih ekonominya (umumnya negara maju).

Kemudian Adressing Scaring Effect to Secure Future Growth, bagaimana mengatasi dampak berkepanjangan (scarring effect) krisis dengan meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan jangka panjang, memperhatikan ketenagakerjan, rumah tangga, sektor korporasi, dan sektor keuangan.

Terkait exit strategy, untuk memitigasi dampak pandemi dan menopang perekonomian, negara-negara di seluruh dunia telah mengeluarkan kebijakan fiskal, moneter, dan peraturan yang sifatnya extraordinary dan belum pernah terjadi sebelumnya untuk melindungi masyarakat dan dunia usaha.

Ia mengungkapkan, saat ini kegiatan ekonomi mulai berangsur pulih. Namun, pemulihan tersebut tidak berjalan dengan laju yang sama atau tidak sinkron. Di negara maju, pertumbuhan ekonomi pulih lebih cepat disertai inflasi yang juga melonjak.

Kondisi demikian, menurutnya, mendorong negara maju melakukan normalisasi kebijakan lebih dulu antara lain dengan menaikkan suku bunga kebijakan.

“Implikasinya bisa signifikan, karena berpotensi mendorong arus keluar modal dari negara berkembang di tengah kebutuhan pembiayaan yang besar untuk mendukung pemulihan,” ujarnya.

Ia menjelaskan, kondisi ini menandakan perlunya exit strategy yang terkalibrasi dengan baik (well calibrated), terencana (well planned) dan terkomunikasikan dengan baik (well communicated) untuk recover together, recover stronger.

Sedangkan terkait scarring effect, pandemi Covid-19 telah menyebabkan gangguan ekonomi global yang mendalam, baik di sisi penawaran maupun permintaan.

“Pandemi telah menyebabkan perubahan struktural dari aspek investasi yang tertunda tidak hanya modal fisik, namun juga human capital,” ujarnya.

Sementara, Staf Ahli Gubernur Bidang Ekonomi, Keuangan, Pembangunan, Aset dan SDA Sumut, Agus Tripriyono yang mewakili Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi mengungkapkan, ekonomi di Sumut tahun 2021 telah keluar dari zona kontraksi dan menunjukkan pemulihan ekonomi di tengah pandemi yang masih berlangsung.

Disebutkannya, ekonomi Sumut berhasil tumbuh 2,61% yoy di tahun 2021, capaian vaksinasi Sumut juga cukup membanggakan dan diperkirakan menjadi kunci dan game changer perekonomian Sumut. Namun, masih ada tantangan ke depan yang harus dihadapi.

“Di tengah tantangan itu, kami yakin ekonomi Sumut masih akan berpotensi tumbuh. Karenanya, kerjasama dengan seluruh elemen masyarakat dan stakeholder di daerah harus terus diperkuat,” katanya. (swisma)